Berbicara tentang
krisuan-krisuan yang terjadi di Indonesia mengenai undang-undang hirarki yang
tidak sesuai antara di pusat dengan di daerah salah satunya berhubungan dengan
fenomena pemberlakuan Perda Syariat dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan menurut Pasal 7
ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2004 adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu),
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Peraturan
Daerah terdiri atas Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota,
dan Peraturan Desa.
Pada pasal
1 ayat 12 UU Nomor 10 Tahun 2004 mengatakan bahwa Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang undangan
sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang undangan. UU
Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka (2) yang menyebutkan :
“pemerintahan
daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”
Pasal ini mengandung pengertian bahwa setiap kebijakan mengenai
penyelenggaraan pemerintahan daerah harus berdasarkan aspirasi yang dikehendaki
masyarakat, sesuai dengan prinsip otonomi seluas-luasnya sehingga setiap keinginan
masyarakat bisa terpenuhi.
Namun faktanya fenomena yang akhir-akhir ini terjadi adalah
berkaitan dengan ditetapkannya perda-perda yang berlaku di daerah. Dengan
alasan memunculkan kekhasan daerah, sejumlah daerah mulai memunculkan Peraturan
Daerah (Perda). Sebagai contoh adalah dalam
beberapa daerah yang mayoritas penduduknya beragama islam mencoba
memunculkan Perda dengan sanksi pidana berdasarkan syariat islam. Sebaliknya,
daerah yang mayoritas penduduknya nonmuslim juga mencoba membuat sanksi tersendiri.
Di antaranya adalah Perda berupa anti pelacuran, anti penjudian, anti maksiat,
kewajiban berbusana muslim ataupun tentang wajib baca Al-Quran. Perda semacam
ini tak hanya muncul di tingkat provinsi, tetapi juga kabupaten bahkan desa.
Desa Padang yang berada di Kecamatan Gantarang, Bulukumba, Sulawesi Selatan,
misalnya telah mengeluarkan Peraturan Desa Nomor 5 Tahun 2006 tentang hukum
cambuk.
Dengan maraknya Perda tersebut, bermunculan berbagai pendapat yang
berkaitan dengan permasalahan ini. Pendapat ini di antaranya dari para anggota
legislatif (DPR-RI) serta elemen-elemen lainnya yang peduli terhadap
permasalahan negeri ini. Guru Besar Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum
Universitas Krisnadwipayana yang juga merupakan anggota Komisi III DPR, Gayus
Lumbun mengatakan “Pembentukan peraturan daerah bernuansa syariat islam harus
tetap mengacu pada UUD 1945 dan tetap harus memiliki ciri-ciri harmonisasi
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang
menetapkan bahwa masalah agama menjadi persoalan Pemerintah Pusat.
“Secara
vertikal, semua Perda tetap harus mengacu pada UUD 1945. Pada pasal 37 ayat 5
UUD 1945 terdapat hal-hal pokok yang tidak boleh diubah, yakni soal bentuk
negara sesuai Pasal 1 UUD 1945 yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia juga negara hukum.”
Permasalahan atau fenoma yang disebutkan di atas dari aspek hukum
sudah jelas merupakan wewenang pemerintah pusat sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 218 ayat (1.b) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam Undang-undang
Nomor 32 tahun 2004 ini dijelaskan bahwa apabila suatu peraturan daerah
dianggap bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan
lebih tinggi, peraturan daerah ini dapat dibatalkan oleh pemerintah pusat
melalui peraturan presiden. Akan tetapi, kalau pemerintah daerah merasa
keberatan dengan keputusan pemerintah pusat, pemerintah daerah mengajukan
keberatan untuk dilakukan judicial review
kepada Mahkamah Agung. Hal ini diatur dalam Pasal 145 ayat (1) sampai (7)
UU Nomor 32 tahun 2004.
Dari permasalahan diatas sudah jelas, maksud dari adanya Perda
yang memunculkan peraturan dengan kekhasan mayoritas penduduk tersebut maka
undang-undang yang di daerah tidak sesuai dengan yang di pusat, dalam artian
undang-undang yang di daerah tersebut digambarkan dengan adanya Perda Syariat
dalam penyelenggaraan otonomi daerah, sementara dari aspek hukum disebutkan
dalam pada pasal 37 ayat 5 UUD 1945 terdapat hal-hal pokok yang tidak boleh
diubah, yakni soal bentuk negara sesuai Pasal 1 UUD 1945 yang mengatakan bahwa
Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang juga merupakan
negara hukum.
0 komentar:
Posting Komentar